Pada Jumat, 28 Februari lalu, telah diadakan forum diskusi multi-pihak uji coba skema take-back menggunakan kapal sampah pemerintah sebagai penerapan skema Extended Producer Responsibility (EPR) di Kepulauan Seribu.
Acara yang berlokasi di Park Hotel Cawang tersebut dihadiri oleh peserta dari berbagai sektor yang memiliki kepentingan dalam sistem pengelolaan sampah, termasuk perwakilan dari instansi pemerintah, sektor swasta, serta komunitas yang aktif dalam pengelolaan sampah dan pelestarian lingkungan.
Dalam kegiatan ini, hadir pula Agus Rusly, selaku Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Ia menyoroti isu transboundary pollution, dimana sampah dari satu wilayah bisa berpindah ke wilayah lain.
Agus Rusly menegaskan bahwa pemerintah sangat ketat dalam menanggulangi praktik open dumping yang terjadi, termasuk di Kepulauan Seribu.
Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular dari KLH itu berharap proyek uji coba skema take-back bisa menjadi contoh yang baik bagi wilayah lain, khususnya kawasan wisata yang kerap menghadapi masalah sampah dan ketersediaan air bersih.
Diskusi mengenai uji coba skema take-back menjadi salah satu sesi yang menarik perhatian, karena memberikan kesempatan bagi perwakilan dari berbagai sektor untuk menyampaikan pandangan dari pengalaman mereka.
Pada kesempatan tersebut, Amrullah Rosadi, selaku Managing Director Divers Clean Action, memaparkan laporan mengenai hasil dari Pilot Project Circulating Island, yang mendapatkan dukungan dari GIZ Indonesia melalui 3RproMar Project.
Amrullah menjelaskan berbagai aspek terkait proyek ini, mulai dari implementasi inovasi bisnis reuse hingga pengumpulan sampah di Kepulauan Seribu untuk memaksimalkan angka daur ulang melalui subsidi kapal pemerintah.
Itu juga disampaikan tanpa melupakan tantangan utama yang dihadapi dalam penerapannya, hingga peluang pengembangan yang dapat dilakukan kedepannya agar program ini berjalan lebih optimal oleh masyarakat.
Sebagai langkah nyata dalam memperkuat kolaborasi antar pemangku kepentingan, acara ini juga menyelenggarakan sesi penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang melibatkan Bank Sampah Induk Kepulauan Seribu (Rumah Hijau), Recycling Business Unit - Tangerang Selatan sebagai mitra yang ditunjuk Danone AQUA sebagai pihak off-taker, serta Divers Clean Action yang memfasilitasi uji coba pengumpulan botol Polyethylene Terephthalate (PET).
Penandatanganan ini menjadi tonggak penting dalam mendukung skema take-back, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi biaya, serta mempermudah bank sampah sebagai mitra pengumpul sampah di Kepulauan Seribu dalam menjangkau off-taker, maupun produsen menjangkau komunitas di Kepulauan Seribu.
Selain itu, pemanfaatan kapal sampah milik Pemerintah Daerah dalam skema ini diharapkan dapat meringankan biaya pengumpulan sampah daur ulang di Kepulauan Seribu.
“Menurut saya, karena kita negara kepulauan, kemudian yang namanya transportasi laut itu kan pasti sangat mahal. Jadi, harus difasilitasi sampai kelihatan perekonomiannya oleh masyarakat dan teman-teman dari industri, khususnya brand owner, produsen-produsen dan sebagainya yang kemasannya ada di lingkungan (sekitar),” ujar Agus Rusly, Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Acara dilanjutkan dengan sesi talkshow yang memberikan ruang bagi perwakilan dari berbagai sektor untuk berbagi perspektif mengenai peran masing-masing dalam mendukung penerapan ekonomi sirkular di Kepulauan Seribu.
Beberapa narasumber yang turut berbicara dalam diskusi ini antara lain Riza Lestari Ningsih, Kepala Seksi Peran Serta Masyarakat dan Penegakan Hukum Sudin LH Kepulauan Seribu, Mahariah, Ketua Bank Sampah Induk Kepulauan Seribu, serta Jeffri Ricardo, perwakilan dari Danone AQUA.
Skema Take-Back sebagai Solusi Kolaboratif untuk Pengelolaan Sampah di Kepulauan Seribu
Skema take-back adalah salah satu mekanisme dalam peta jalan pengurangan sampah oleh produsen yang ditetapkan dalam Permen LHK No.75/2019, yang bertujuan untuk mengurangi limbah produk dan kemasan hingga 30% pada tahun 2029.
Diatur dalam skema R2, produsen dapat bertanggung jawab untuk mengumpulkan kembali kemasan pasca konsumsi yang ada untuk didaur ulang.
Di Kepulauan Seribu, skema ini dirancang untuk memastikan bahwa setiap Rukun Warga (RW) memiliki bank sampah yang aktif menjadi aktor pengumpul sampah pasca konsumsi.
Keberlangsungan skemanya bergabung pada peran Bank Sampah Induk (BSI) yang memfasilitasi pengumpulan dan distribusi sampah, serta dukungan dari produsen yang bertanggung jawab terhadap kebijakan P75 mengenai pengelolaan kemasan produknya.
Tantangan yang dihadapi bank sampah di Kepulauan Seribu adalah keterbatasan akses ke off-taker dan tingginya biaya transportasi laut. Sebagian besar bank sampah masih bergantung pada pelapak sebagai perantara, yang membeli sampah dengan harga lebih rendah.
Dengan adanya skema tersebut, bank sampah bisa langsung bekerja sama dengan off-taker, sehingga meningkatkan nilai jual sampah. Hal ini memberikan insentif dan edukasi yang lebih baik bagi masyarakat yang terlibat.
Pemerintah DKI Jakarta juga telah mengeluarkan peraturan daerah dengan insentif berupa pembebasan biaya retribusi sampah bagi masyarakat yang rutin menimbang sampah di bank sampah, baik seminggu sekali maupun dua minggu sekali. Kebijakan ini menjadi dorongan tambahan bagi warga untuk lebih aktif dalam memilah dan mengolah sampah rumah tangga.
Penulis: Haneeza Afra
Project funded by BMZ and implemented by GIZ.